
BINTAN – Perkara Korupsi Pengadaan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tanjunguban yang menyeret mantan Kepala Dinas Perkim Bintan Herry Wahyu, Ari Syafdiansyah dan Supriatna di Pengadilan Negeri Tanjungpinang akan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah jika tidak melakukan upaya hukum kasasi.
Putusan Banding Pengadilan Tinggi (PT) Kepri pada 31 Mei lalu dan para terpidana diberi batas waktu 14 hari sejak menerima pemberitahuan untuk mengajukan keberatan atau kasasi. Pihak Kejari Bintan baru-baru ini juga mengatakan belum melakukan upaya hukum atas putusan tersebut dan menunggu pihak Herry Wahyu cs untuk melakukan upaya hukum.
Jika sudah inkrah, maka para terpidana dipastikan akan menjalani hukuman sesuai putusan PT Kepri yaitu untuk Terpidana dakwa Herry Wahyu yang awalnya divonis penjara selama 4 tahun, naik menjadi 5 tahun dalam putusan PT Kepri.
Kemudian juga untuk Terpidana Ari Syafdiansyah yang awalnya divonis 6 tahun penjara, dinaikan masa penahannya menjadi 7 tahun. Ari juga mendapatkan tambahan Uang Pengganti (UP) yang awalnya Rp 990 juta menjadi Rp 1.09 miliar. Kemudian untuk Terdakwa Supriatna hukuman UP yang semula Rp 1.03 miliar menjadi Rp 1,35 miliar pada putusan PT Kepri.
Tidak berhenti disini saja, kasus korupsi pengadaan lahan TPA di Tanjunguban Selatan, Kecamatan Bintan Utara di Pengadilan Negeri Tanjungpinang membuka sejumlah fakta dalam persidangan. Kasus tersebut juga membuka soal adanya mafia tanah terbesar di Bintan Utara yang kini belum terungkap pada proses hukum.
Pada sidang yang berlangsung dari 5 Oktober 2022 hingga 14 Februari 2023 ini mengungkap sejumlah fakta persidangan yang dipastikan menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemkab Bintan dan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan dan tidak melakukan pembiaran begitu saja.
Fakta persidangan pertama adalah adanya 10 surat tanah atau sporadik yang didasari oleh satu surat yaitu Surat Tebas Nomor 01/TUS/1981 atas Nama Sapri bin Sukri yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung Tanjunguban Selatan bernama Asan.
Dalam surat tebas nomor 01 tersebut, tertulis panjang lebih kurang 200 meter dan lebar lebih kurang 100 meter. Kemudian untuk sempadan Utara berbatasan dengan Nijan, Timur dengan Suriadi, Selatan Sei Tongkang dan Barat dengan Hutan.
Menurut saksi Nona Yani yang merupakan Lurah Tanjunguban Selatan dalam persidangan mengatakan, ada sebanyak 3 surat sporadik yang diterbitkan pertama kali dengan Surat Tebas Nomor 01 seluas 2 hektare tersebut. Pertama Surat Sporadik Nomor 9/KTS/2017, kedua Sporadik 10/KTS/2017 dan ketiga Sporadik 11/KTS/2017T, ketiganya tertanggal 26 April 2017 dengan masing-masing luas surat lebih kurang 2 hektare atau total 6 hektare. Ketiga surat tersebut, merupakan surat yang tersangkut dalam perkara korupsi TPA.
Kemudian, berselang waktu 4 setelah terbit 3 surat sporadik tersebut, ada 6 surat yang terbit di sekitar lokasi 3 surat tadi dengan dasar yang sama yaitu Surat Tebas Nomor 01. Masing-masing surat tersebut luasnya hampir 2 hektare untuk setiap bidangnya. Namun hal berbeda dinyatakan oleh terdakwa Supriatna, ia mengaku justru ada 7 surat lagi yang diterbitkan. Setelah diverifikasi, ternyata 1 surat tidak diregistrasikan di Kelurahan Tanjunguban Selatan, namun di Kecamatan Bintan Utara. Sehingga yang benar adalah 7 surat.
Dari total 10 surat sporadik tersebut di atas, 3 surat yang terkait perkara korupsi TPA mengalami tumpang tindih dengan sejumlah pihak. Dari putusan pengadilan, ketiga surat tersebut yang jelas memiliki dasar yang sama dan palsu, diserahkan ke Kelurahan Tanjunguban Selatan untuk dibatalkan.
Namun untuk 7 surat lainnya yang jelas merupakan surat aspal (asli tapi palsu) belum ada putusan hukumnya. Sehingga ini menjadi PR untuk Pemkab Bintan. Aoalagi terkait 7 surat lainnya dikabarkan dengan dilaporkan ke pihak kepolisian dan masih dalam tahap penyelidikan. Sehingga dengan adanya fakta persidangan ini menjadi PR kepolisian untuk segera melakukan penindakan hukum.
Sementara itu, Muhammad, warga Bintan Utara menanggapi perkara TPA tersebut merupakan langkah baik dalam penegakan hukum, namun ia berharap permasalahan lainnya juga dapat diungkap dan diselesaikan.
“Pastikan jika terungkap adanya surat tanah palsu yang dinyatakan di muka persidangan, maka ini jelas harus diselesaikan, jangan dibiarkan. Jika itu terjadi, maka masyarakt juga yang rugi, ribut-ribut terkait sengketa tanah,” jelasnya.
Ia mengatakan, jika pemerintah senantiasa meminta masyarakat menaati aturan hukum, maka pemerintah juga harus menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai surat-surat palsu malah dibiarkan dan tidak dibatalkan.
“Ya masyarakat pasti maunya keadilan lah, pemerintah lakukan langkah yang cepat dan tepat. Kalau yang palsu-palsu ini masih dipelihara, maka pemrintah sama saja membiarkan mafia tanah tetap eksis dan tidak ada akibat hukum bagi yang main palsu memalsukan ini,” ungkapnya.(aan)