Opini  

Pelecehan Seksual Pada Anak Dibawah Umur, Salah Siapa ?

Maya Gustiani Putri Mahasiswi Sosiologi UMRAH
banner 120x600

Penulis: Maya Gustiani Putri

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Maritim Raja Ali Haji

Pelecehan seksual merupakan suatu bentuk prilaku yang berkonotasi seksual dan dilakukan secara sepihak atau pun dengan di kehendaki kedua belah pihak yang dilakukan dengan cara pengucapan, tulisan, symbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi pada seksual.Pelecehan seksual sendiri merupakan kejahatan yang merenggut martabat manusia, terkait tubuh terkhusus perempuan yang selalu menjadi korban utama, apalagi pelecehan seksual seolah sudah menjadi hal tidak terpisahkan dengan perempuan.

Bentuk lain dari kekerasan seksual diantaranya adalah pemerkosaan, sunat wanita, kehamilan yang dipaksakan, aborsi, perdaganagan manusia, perbudakan seks seperti praktik prostitusi.

Mengacu kepada data yang di terbitkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KEMENPPPA) yang diinput pada tanggal 1 Januari 2022 hingga saat ini (real time) dan telah terverifikasi menyebutkan angka kekerasan seksual yang terjadi di indonesia menyentuh angka 29,7% sekaligus menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi di banding dengan kekerasan terhadap perempuan lainnya. Hal itu membuat kita menyadari bahwa perlakuan salah tersebut bertambah nyata, dan selalu mengintai anak maupun remaja yang seharusnya kita sayangi dan lindungi.

Berdasarkan informasi yang dibaca melalui sejumlah media online menyebutkan dugaan terjadi pelecehan terhadap perempuan anak dibawah umur di Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau belum lama ini dengan ditenggarai dugaan melibatkan seorang ABK (Anak Buah Kapal) salah satu kapal Pukat Mayang sebagai terduga pelaku kekerasan pelecehan terhadap seorang perempuan masih berusia 14 tahun, dengan modus operandi bujuk rayu alias suka sama suka atau tanpa paksaan.

Padahal jelas disebutkan Berdasarkan undang-undang perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 pasal 76 , “bahwa setiap orang dilarang memaksa anak melakukan persetubuhan baik dengan dirinya maupun dengan orang lain”.

Anak yang seharusnya berada di bangku sekolah, mengejar cita-cita dan meniti masa depannya, justru bersikap dan berperilaku yang berisiko membuat mereka harus berurusan dengan hal yang tidak sesuai dengan norma sosial dan hukum yang ada yang seringkali membuat mereka kehilangan kebebasannya dan kehilangan jati diri sebagai seorang pelajar.

Selian itu Kondisi tersebut diperkuat oleh peran model yang dijumpai dalam kehidupan remaja sehari-hari, yang juga cenderung bersikap negatif seperti kekerasan, pelecehan, dan perendahan harga diri.

Dengan kata lain remaja itu beridentifikasi dengan tokoh tersebut dan menjadikan mereka sebagai figur panutan, sehingga semua tindak tanduknya juga berorientasi pada kekerasan termasuk dalam penyaluran dorongan seksualnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari KEMENPPPA angka tertinggi kedua penyebab terjadinya pelecehan dilakukan atas dasar hubungan pacaran dan pertemanan data yang di sampaikan oleh KEMENPPPA menyentuh angka 3.324 kasus.

Hal ini sejalan dengan teori control social yang disampaikan oleh Reiss, Teori kontrol sosial atau social control theory, menunjuk kepada pembahasan delinkuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain : struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial berbeda dengan teori kontrol lainnya.

Menurut Reiss bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial didalam menjelaskan kejahatan atau tindak pidana anak.

Ketiga komponen tersebut antara lain :
a. Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa kanak-kanak;
b. Hilangnya kontrol tersebut;
c. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antar norma-norma di sekolah, orang tua, atau lingkungan terdekat.

Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Adapun yang dimaksud dengan Social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Menurut Reiss, untuk orang-orang tertentu melemahnya personal dan sosial kontrol secara relatif dapat di perhitungkannya sebagai penyebab terbesar delinkuensi (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2016: 94).

Dalam kasus ini peran control social menjadi penting dimana peran orang tua menjadi factor utama untuk memberikan batasan dalam hal pergaulan dan penerapan norma agar terciptanya prilaku yang posistif dan agar tidak terjadi konflik norma norma yang di peroleh di sekolah dan orang tua serta lingkungan terdekat nya.

Konsolidasi semua itu merupakan salah satu faktor prediktif dalam menghasilkan individu yang mempunyai citra diri dan kesadaran diri yang lebih positif, dengan kata lain menuju ke arah kematangan diri yang optimal, baik aspek kognitif maupun kemampuan berpikir serta moralitas.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut ?
Catalano (2004), seorang peneliti dalam “positive youth development programs” mengkonseptualisasikan bahwa identitas diri remaja yang positif dapat dicapai melalui beberapa langkah:

1. Memberikan kesempatan bagi remaja untuk melakukan eksplorasi dan komitmen dalam kegiatan yang bermanfaat. Teori Identitas yang dikembangkan oleh James E Marcia mengemukakan, remaja sebaiknya diberi kesempatan untuk menentukan peran yang mereka inginkan.

2.  Meningkatkan harga diri (self esteem). Remaja perlu dilatih bahwa mereka mempunyai harga diri positif dan mampu menghargai orang lain apa adanya, yang tidak tergantung dari latar belakang sosial, pendidikan atau kultur tertentu, karena semua orang adalah unik dan membawa talentanyamasing-masing.

Dengan demikian, remaja mampu menghadapi diskrepansi dalam kehidupan yang lebih akurat. Mereka menjadi mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan dan patut untuk merasa bahagia. Karena itu, kekerasan baik fisik maupun seksual yang dilakukan oleh remaja saat ini, tidak dapat hanya menempatkan remaja sebagai individu terhukum semata-mata.

Namun, kita yang mungkin adalah bagian dari keluarga dan anggota masyarakat dalam konteks lebih luas perlu bertanya, apakah kita sudah bahu membahu untuk menciptakan identitas positif bagi remaja Indonesia?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *